Kursi dalam Ruangan Itu

Faiza Zahra
3 min readApr 28, 2023

--

Apa yang terjadi selama ini kurasa hanyalah suatu taswir yang biasa dan tak perlu dipikirkan terlalu dalam, tapi tidak bisa. Sayangnya, serupa kursi yang selesai dipahat dua minggu sesudah pohon di hutan yang perlahan gundul itu ditebang, ia diletakkan sedemikian rupa di suatu ruangan yang pernah ramai. Ruangan itu tidak sepi sekarang, jangan khawatir. Tetapi ia tidak seramai dan meriah seperti di masa lampau. Sesekali pengunjung menikmati kehangatan ruangan itu. Begitu pula kursi yang baru selesai dipahat itu. Ia merasakan kehangatan yang menerpa segenap raganya di antara furnitur-furnitur yang kulitnya mulai mengelupas.

ilustrasi akan suatu ruangan di nikko narita hotel, 2020

Di sisi lain mereka berusaha untuk tetap kokoh. Ruangan yang tak begitu luas itu seakan mendekap erat seluruh entitas yang berada di dalamnya tak peduli seperti apa rupanya. Termasuk kursi yang baru diletakkan di jantung ruangan tersebut, diapit oleh rak berisi buku-buku dan kaset musik serta film yang warna sampulnya memudar. Di depan kursi anyar itu ada meja bundar yang masih kokoh dan sehelai pakaian berupa jumper berwarna hitam nan lusuh tergeletak.

Untuk pertama kali dalam hidupnya sebagai sebuah kursi, ia merasakan hidupnya menjadi sesuatu yang berarti. Kursi baru yang berada di ruangan sederhana yang dihidupi oleh kehangatan akan perabotan yang ada di dalam ruangan itu yang mengelilinginya. Pagi menuju malam, hari kian berganti, tak terasa dua fase bulan purnama telah ia lewati bersama seluruh perabotan di ruangan itu. Sang kursi tersadar kalau ada celah-celah yang janggal. Di antara vas maupun bingkai yang berdiri di atas rak-rak berkayu jati, terdapat pola debu yang berkeliling dan membentuk sesuatu. Ada benda-benda yang pernah bersua di sana. Ke mana mereka sekarang?

Sang kursi mengamati foto-foto yang terpasang di pigura yang menggantung di dinding ruangan tersebut. Benar, ada beberapa perabotan yang pernah tinggal dan sekarang pergi, menghilang. Tiba-tiba saja sehelai jumper yang menggeletak di atas meja yang berada di depannya kini tersampur di bagian pegangan dan sandaran lengan sang kursi. Ia berbisik pelan dan berjanji akan menceritakan alasannya.

Setiap tahunnya beberapa perabotan yang indah selalu mengisi tiap celah yang masih tersisa di ruangan tersebut. Para manusia yang terpikat akan perabotan tersebut datang berbondong-bondong menuju ruangan itu. Ruangan hangat yang penuh akan perabotan menawan dan cemerlang. Energi dari ruangan tersebut yang sebenarnya membuat perabotan-perabotan itu bercahaya dan mengkilat. Para manusia yang terpesona mengambil perabotan-perabotan bermakna yang telah menemani sang ruangan yang memancarkan kehangatannya.

Selalu terjadi di bulan Desember.

Kemudian dua bulan sesaatnya kehangatan di ruangan tersebut memudar. Mereka yang tersisa dan memilih untuk bertahan di ruangan tersebut mulai membisikkan kalimat-kalimat penenang. Sang ruangan mulai menyalakan pendar hangat yang biasanya ia banggakan. Senantiasa memberikan kehangatan meskipun dari jendela terlihat hujan lebat yang tak bosan-bosannya menerpa. Sang kursi bahagia tiap ia menelusuri kehangatan yang diberi ruangan tersebut. Tak ingin kehilangan akan tenteramnya kehangatan yang ia telusuri di ruangan tersebut. Jumper hitam nan lusuh menyarankan dirinya untuk bersembunyi dan jangan sampai terlihat sekawanan manusia. Nanti ia diambil dan dipindahkan ke tempat lain. Diputuskanlah oleh dirinya untuk bersembunyi di dalam lemari jati tua yang terletak di sudut ruangan. Tentu saja ia tak peduli.

Ruangan mulai bersuara. Dirinya tak mau kursi repot-repot bersembunyi. Biarlah ia ada di depan meja dekat jendela di mana kursi biasa menyaksikan pemandangan. Sang ruangan tak ingin mengekang kursi. Sedangkan kursi masih khawatir nantinya seorang manusia membawanya pulang dan ia tak bisa merasakan kehangatan ruangan lagi. Ketika kursi menyatakan hal tersebut, seketika ruangan menjadi teramat hangat kemudian pemandangan yang tampak dari jendela menunjukkan taman yang disinari cahaya surya pasca hujan turun.

Sang kursi berdecit kaget. Ruangan semakin hangat. Katanya, kehangatan yang ia pancarkan kepada semua takkan sirna begitu saja. Pun perabotan-perabotan yang telah dibawa oleh beberapa manusia yang berkunjung di sana dahulu kala. Kehangatan itu terus ia wariskan melalui kegembiraan dan kebersamaan yang dirasakan oleh para manusia di rumahnya masing-masing. Kasih dan kehangatan itu terus berjalan. Seandainya sang kursi ingin menjelajah bersama manusia yang kelak merasa bahwa ia bahagia dan terhangatkan oleh kursi. Dunia yang semarak dan turut dihangatkan oleh sang kursi yang pernah ada di ruangan “ajaib” ini.

Bayangan terpantul di sisi alas sang kursi, memberi jejak akan musim semi yang sedang berlangsung. Desember sudah lewat, Desember juga akan ia lalui, namun kali ini dengan mewariskan kehangatan yang kerap ia peluk dengan erat di ruangan ini, di mana saja dan kapanpun ia berada, kehangatan akan ia wariskan, maka apa yang biasa disebut sebagai keabadian itu bertaut antara dirinya dengan sang ruangan.

--

--

Faiza Zahra
Faiza Zahra

No responses yet